Hukum Shalat di Jalan Umum Menurut Imam Al-Nawawi
Hampir semua ibadah yang diperintahkan Allah SWT memiliki dampak positif dan kemaslahatan bagi manusia
Hampir semua ibadah yang diperintahkan Allah SWT memiliki dampak positif dan kemaslahatan bagi manusia. Kemaslahatan tersebut tidak hanya dirasakan oleh orang yang mengerjakannya, tetapi juga berdampak pada orang lain. Ibadah shalat misalnya, di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS: al-‘Ankabut: 45). Apabila tujuan shalat ini terwujud nyata dalam perilaku orang Islam, tentu ini akan memberikan kenyamanan dan ketenangan terhadap orang lain.
Begitu pula shalat, alangkah baiknya shalat dilakukan di tempat yang tidak menganggu aktivitas orang lain atau tempat yang sudah dikhususkan penggunaannya untuk shalat. Berdasarkan alasan ini, Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab memakruhkan pelaksanaan shalat di jalan umum. Kemakruhan ini tentu tidak berdampak pada pembatalan shalat. Beliau mengatakan:
Menurut Imam al-Nawawi, ada dua alasan dimakruhkan shalat di jalan umum: pertama, menghalangi perjalanan orang lain, terlebih lagi bila shalat diselenggarakan di jalan raya atau umum; kedua, menganggu kosentrasi dan kekhusyukan shalat. Laiknya jalan raya pada umumnya tidak pernah sepi dari kendaraan ataupun pejalan kaki. Hal ini tentu berakibat pada ketidakfokusan pikiran. Shalat di masjid saja susah khusyuknya, apalagi di jalan umum.
Dengan demikian, seyogyanya pelaksanaan shalat tidak menganggu kenyamanan orang lain. Terlebih lagi, dalam konteks Indonesia, masjid dan mushola masih banyak dan luas. Beda halnya bila masjid sudah tidak mampu menampung banyak jemaah atau tidak ada masjid sama sekali, sebagaimana muslim di daerah minoritas. Dalam kondisi ini tentu menggunakan jalan sebagai tempat shalat menjadi salah satu alternatif. Wallahu a’lam